Kamis, 30 April 2015

Kamu di Musim Hujan



Semenjak kamu pergi, kini saya sesekali teringat hal-hal kecil tentang kita, saya dan kamu. Satu ketika, saya mengingat saat pertama kali kita bertemu, kembali, setelah 2 tahun berlalu. Kita bertemu saat musim hujan.
Pertanyaan “disana hujan?” sering mengawali obrolan panjang kita sore hari sepulang saya kerja. “Gak sih, cuma mendung. Disana hujan kah?”. Basa-basi soal hujan. Berlanjut dengan cerita apapun di hari itu.
“Ini tadi abis kehujanan, main hujan ding :D” Kamu selalu sengaja lupa membawa jas hujan. Itu yang membuatmu sering kehujanan. Tapi kamu lebih suka menyebutnya hujan-hujan, main hujan, mandi hujan. Itu semua bikin kamu senang meski pada satu waktu kamu pernah jatuh sakit karenanya.
Saya juga pernah kehujanan. Dan setelah itu saya ceritakan pada kamu tentang rasanya ‘kehujanan’. Memang menyenangkan. Pantas kamu suka.
Tapi, kita punya satu musim lagi. Sebentar lagi kemarau. Musim dengan air berjatuhan ini tak lama lagi berlalu. Pergi. Berganti musimnya matahari.
Lamunan saya terhenti, terpikir, apakah kemudian kamu juga akan pergi meninggalkan saya seiring akan perginya musim hujan? Apakah kamu akan benar-benar melupakan tentang sebuah janji kita?

Teman, best ever i have.
            Saya kecewa jika jawabannya iya.

Cinta Ara



“Pokoknya aku gak pengen liat kamu, ketemu kamu, ngomong sama kamu.”, Jul menjelaskan panjang lebar. Di satu lorong kantor Head Post, dua orang karyawannya sedang beradu argumen.
Ara yang berdiri di depannya setengah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Bukan, bukan karena tidak terima lantaran Jul telah menjadi mantan kekasihnya 2 hari lalu.
“Aku gak bisa.” Ara menjawab singkat. Ia memang tidak bisa.
“Apanya yang gak bisa?! Hah?!”
“Jul, kita setiap hari kerja di tempat yang sama. Kamu lihat, ruangan kita saja berseberangan”, kedua matanya menunjukkan ruangan mana yang ia maksud. Ara mencoba tetap tenang. “gak mungkin kalau aku disuruh gak ketemu kamu”
“Kudu bisa. Gimana kamunya lah!”, Jul menjawab masih dengan nada suara yang tinggi.
“Terus soal kerjaan, mana bisa kalau aku gak boleh ngomong sama kamu, sedangkan divisi kita berkaitan”, Ara mencoba menambah penjelasannya.
“Argh, terserah! Pokoknya aku gak mau.” , Jul melenggang pergi melewati Ara sambil melambaikan tangannya, seolah tak peduli lagi.
“Jul!” Ara memanggil Jul hendak melanjutkan, tapi Jul bergeming sampai menghilang di ambang pintu ruangannnya di  Printing Room. 
***

Mundur



Maya menahan air mata yang sejak tadi ingin keluar. Ia tengah berada di antara perbincangan dalam rumahnya sendiri. Entah kenapa, pikirannya lalu melayang ke tempat lain, ah, ke orang lain. Padahal baru saja ia mengucapkan ‘terserah’ penuh pasrah saat ditanya oleh bundanya ‘Desember aja ya May?’.
Rencana pernikahannya dengan Tian mundur. Semula Maya yang sebenarnya nggak ngebet-ngebet banget ingin menikah, sudah berencana bersama ayah dan bundanya akan melangsungkan penyatuan hati itu di bulan Oktober. Namun alasan printil macam apalah yang akhirnya perhelatan mundur ke bulan penghujung tahun. Yah, tak sepantasnya memang Maya menganggapnya alasan sepele. Terlebih kalau berhadapan dengan wejangan orang tua, ditambah calon orang tuanya juga.
Sepulangnya tamu dari rumah, air matanya tak kuasa tertahan. Maya mengunci pintu kamarnya dan menutup wajahnya dengan bantal. Ia rindu Kian. Menghambur ke pelukannya dan menumpahkan semua kecewa di hatinya. Kian, sahabatnya. Bukan Tian, calon suaminya.  Kian tempat ia dulu sering bertanya ini-itu dan berbagi cerita tentang rencana pernikahannya. Yeah, nama mereka mepet-mepet dikit. Termasuk keduanya pun pernah mepet ke kehidupan cinta Maya. Dan yang bertahan Tian, bukan Kian.
Tapi sudah satu bulan ini Maya tak pernah menemui Kian di akun medsosnya. Kian masih menghilang, darinya. Maya sedikit tidak terima dengan alasan menghindarnya Kian darinya. Ulang tahun. Arrrghh... nyeri kembali menyerang hatinya. Maya pun hanya mampu mengungkapkan gundah hatinya dengan menulis di status sendiri. Entah, ia masih berharap Kian membaca dan memberinya kesempatan untuk berbagi cerita lagi.
           “Kaa, oktober ke desember itu lama kan ya, sedih deh :(”

Rabu, 29 April 2015

Cinta Rani 2


Suara pintu kamar mandi terbuka. Rani baru selesai membersihkan diri. Sambil berjalan, ia mengusak-usak rambutnya yang basah dengan handuk kecil.
Aku selalu bahagia saat hujan turun, karna aku dapat mengenangmu ...
Suara Utopia terdengar dari handphone Rani yang tergeletak di sofa ruang tengah. Rani segera melempar handuk ke sandaran sofa saat mendengar nada panggilan telepon itu. Sedikit boleh jujur, Rani memang menunggu telepon dari Mika. Nama Mika berkedap kedip di layar ponsel.
“Halo”
“...” tidak ada suara dari seberang telepon. Rani mengulang ‘halo’nya.
“Suaramu masih cantik” Mika menjawab. Ada simpul senyum di sana.
“Bisa aja” Rani salah tingkah dipuji seperti itu. Tak disangkal, pipinya menjadi soft pink. Hatinya melayang-layang tak menentu. Suara Mika pun sebenarnya masih terdengar teduh di telinga, dan hatinya. Sayang, Rani tak berani membalaskan pujian itu untuk Mika.
“Lama juga gak denger suaramu Ka” tambah Rani kemudian.
“Kangen yaa?” Mika tengah menggoda Rani.
“...” hening Rani menanggapinya. Ia mencoba menguasai diri, “Masih di field kah?”
“Iyo. Kamu di rumah tho?”
“He’em. Pulang jam berapa emang?”
“Setengah jam lagi. Wangi, kamu abis mandi ya?”
Eh!
“Wait wait, kamu pasang cctv ya di rumah saya? Iso ngerti loh”
“Haha... cctv-nya kan saya taruh di hati kamu”
“Ish, do you flirting me hey?”
“Hahaha”
“Ngguyu ae”
“Itu loo spesialmu, iso bikin saya ngguyu kalo pas gini ini”
Hmm... pas gini, oke!
“Pas gini kenapa?”
“...”
“...”
“Ran,”
“Ya,”
“Saya kangen kamu”
“...”
“Ran,”
“Hm,”
“Diem aja”
“Kamu lagi ada masalah apa Ka?”
“Mbaknya suka main langsung nih” canda Mika di seberang telepon
“Hehe, yah abisnya kamu gitu”
“Haha, tapi bener, saya lagi kangen sama kamu. Bentar bentar, emang kamu gak kangen sama saya?”
“Apaan sih Ka. Ck”
“Iya iya, gak godain lagi. Hehe”
Mika samar mendengar desah pelan Rani. Sesungguhnya, Mika tau artinya. Rani juga merindukannya, dan ia tahu mengapa Rani tak mau jujur mengatakannya.
“Saya lagi capek dengan hubungan saya sama Yana.”
“Capeknya gimana?”
“Saya juga bingung. Mungkin dia nggak sepenuhnya salah. Sayanya aja yang ngerasa jengah.”
“Emang dia ngapain sampai kamu ngerasa gitu?”
“Princesse Syndrome. Saya search di google, kira-kira seperti itu.”
“Sampai googling segala. Gimana tuh sindrome princesse?”
“Ya gitu Ran. Dia apa-apa, saya, kemana-mana, saya, mintanya ada saya mulu”
“Humm, gitu apa gak wajar kah Ka? Dia kan pacar kamu.”
“Wajar kalo saya ke dia juga gitu. Tau lah, saya yang capek Ran. Saya kan juga butuh apa-apa Yana, kemana-mana Yana. Jadinya kayak saya yang ada untuk dia, tapi dia gak ada untuk saya.”
“Kamu kan cowok, kudu lebih bisa apa-apa sendiri dong dibanding cewekmu.”
“Iya, tapi seenggaknya dia pernah napa dengerin saya. Itu gak terjadi sama dia”
“Masa dia gak pernah dengerin kamu?”
“Yes! Dan untuk nemenin saya nonton pameran IT aja dia nggak mau. Nyebelin dia!”
“Hush, gitu juga dia cewek kamu Ka”
“Hmmm” hela nafas panjang Mika keras terdengar.
“Kamu udah pernah negur dia?”
“Udah, dari cara yang alus sampe keras.”
“Lalu?”
“Lalu saya milih curhat ke kamu karena nasehat saya gak ngaruh, dia tetap, nggak berubah”

Kesalahan



“Phi, hari ini kamu kelihatan murung”, Ara menyeruput es cokelat dari sedotan.
Di sudut kedai dekat kantor, Ephi dan Ara sedang duduk berhadapan. Dua perempuan yang menjalin pertemanan sejak SMA. Keduanya yang kini bernaung di satu atap kerja, tak mau menyebut hubungan mereka sebagai sahabat. Terlalu mainstream, Ephi bilang. Terlalu banyak ‘gak enakan’. Cukup teman.
“Hmm” gumaman yang tak jelas apa maksudnya.
Jika Ara seorang sahabat, maka ia akan melanjutkan dengan 'Ayoh cerita'. Tapi hanya tepukan lembut tangannya di bahu Ephi.
“Saya sudah buat orang lain susah Ra” Ephi pun mengeluarkan batu yang bercokol di hatinya.
Ada hening yang lama setelah itu. Ara memandang keluar lewat jendela di samping kanannya. Seakan mencari kalimat peneduh yang tepat untuk teman di depannya.
“Kenapa perbuatan baik yang kamu lakukan malah kamu anggap buat orang lain susah. Enggaklah Phi. Semuanya baik-baik aja” Ara menatap lurus ke mata Ephi.
“Emm, andai yang ngomong gitu dia, mesti saya sudah tenang sekarang” Ephi menunduk. Lesu.