Suara pintu kamar mandi terbuka. Rani
baru selesai membersihkan diri. Sambil berjalan, ia mengusak-usak rambutnya
yang basah dengan handuk kecil.
Aku
selalu bahagia saat hujan turun, karna aku dapat mengenangmu ...
Suara Utopia terdengar dari handphone
Rani yang tergeletak di sofa ruang tengah. Rani segera melempar handuk ke
sandaran sofa saat mendengar nada panggilan telepon itu. Sedikit boleh jujur,
Rani memang menunggu telepon dari Mika. Nama Mika berkedap kedip di layar
ponsel.
“Halo”
“...” tidak ada suara dari seberang
telepon. Rani mengulang ‘halo’nya.
“Suaramu masih cantik” Mika menjawab.
Ada simpul senyum di sana.
“Bisa aja” Rani salah tingkah dipuji
seperti itu. Tak disangkal, pipinya menjadi soft pink. Hatinya melayang-layang
tak menentu. Suara Mika pun sebenarnya masih terdengar teduh di telinga, dan
hatinya. Sayang, Rani tak berani membalaskan pujian itu untuk Mika.
“Lama juga gak denger suaramu Ka” tambah
Rani kemudian.
“Kangen yaa?” Mika tengah menggoda Rani.
“...” hening Rani menanggapinya. Ia
mencoba menguasai diri, “Masih di field kah?”
“Iyo. Kamu di rumah tho?”
“He’em. Pulang jam berapa emang?”
“Setengah jam lagi. Wangi, kamu abis
mandi ya?”
Eh!
“Wait wait, kamu pasang cctv ya di rumah
saya? Iso ngerti loh”
“Haha... cctv-nya kan saya taruh di hati
kamu”
“Ish, do you flirting me hey?”
“Hahaha”
“Ngguyu ae”
“Itu loo spesialmu, iso bikin saya
ngguyu kalo pas gini ini”
Hmm...
pas gini, oke!
“Pas gini kenapa?”
“...”
“...”
“Ran,”
“Ya,”
“Saya kangen kamu”
“...”
“Ran,”
“Hm,”
“Diem aja”
“Kamu lagi ada masalah apa Ka?”
“Mbaknya suka main langsung nih” canda
Mika di seberang telepon
“Hehe, yah abisnya kamu gitu”
“Haha, tapi bener, saya lagi kangen sama
kamu. Bentar bentar, emang kamu gak kangen sama saya?”
“Apaan sih Ka. Ck”
“Iya iya, gak godain lagi. Hehe”
Mika samar mendengar desah pelan Rani.
Sesungguhnya, Mika tau artinya. Rani juga merindukannya, dan ia tahu mengapa
Rani tak mau jujur mengatakannya.
“Saya lagi capek dengan hubungan saya
sama Yana.”
“Capeknya gimana?”
“Saya juga bingung. Mungkin dia nggak
sepenuhnya salah. Sayanya aja yang ngerasa jengah.”
“Emang dia ngapain sampai kamu ngerasa
gitu?”
“Princesse Syndrome. Saya search di
google, kira-kira seperti itu.”
“Sampai googling segala. Gimana tuh
sindrome princesse?”
“Ya gitu Ran. Dia apa-apa, saya,
kemana-mana, saya, mintanya ada saya mulu”
“Humm, gitu apa gak wajar kah Ka? Dia
kan pacar kamu.”
“Wajar kalo saya ke dia juga gitu. Tau
lah, saya yang capek Ran. Saya kan juga butuh apa-apa Yana, kemana-mana Yana.
Jadinya kayak saya yang ada untuk dia, tapi dia gak ada untuk saya.”
“Kamu kan cowok, kudu lebih bisa apa-apa
sendiri dong dibanding cewekmu.”
“Iya, tapi seenggaknya dia pernah napa
dengerin saya. Itu gak terjadi sama dia”
“Masa dia gak pernah dengerin kamu?”
“Yes! Dan untuk nemenin saya nonton pameran
IT aja dia nggak mau. Nyebelin dia!”
“Hush, gitu juga dia cewek kamu Ka”
“Hmmm” hela nafas panjang Mika keras
terdengar.
“Kamu udah pernah negur dia?”
“Udah, dari cara yang alus sampe keras.”
“Lalu?”
“Lalu saya milih curhat
ke kamu karena nasehat saya gak ngaruh, dia tetap, nggak berubah”