Rabu, 29 April 2015

Cinta Rani 2


Suara pintu kamar mandi terbuka. Rani baru selesai membersihkan diri. Sambil berjalan, ia mengusak-usak rambutnya yang basah dengan handuk kecil.
Aku selalu bahagia saat hujan turun, karna aku dapat mengenangmu ...
Suara Utopia terdengar dari handphone Rani yang tergeletak di sofa ruang tengah. Rani segera melempar handuk ke sandaran sofa saat mendengar nada panggilan telepon itu. Sedikit boleh jujur, Rani memang menunggu telepon dari Mika. Nama Mika berkedap kedip di layar ponsel.
“Halo”
“...” tidak ada suara dari seberang telepon. Rani mengulang ‘halo’nya.
“Suaramu masih cantik” Mika menjawab. Ada simpul senyum di sana.
“Bisa aja” Rani salah tingkah dipuji seperti itu. Tak disangkal, pipinya menjadi soft pink. Hatinya melayang-layang tak menentu. Suara Mika pun sebenarnya masih terdengar teduh di telinga, dan hatinya. Sayang, Rani tak berani membalaskan pujian itu untuk Mika.
“Lama juga gak denger suaramu Ka” tambah Rani kemudian.
“Kangen yaa?” Mika tengah menggoda Rani.
“...” hening Rani menanggapinya. Ia mencoba menguasai diri, “Masih di field kah?”
“Iyo. Kamu di rumah tho?”
“He’em. Pulang jam berapa emang?”
“Setengah jam lagi. Wangi, kamu abis mandi ya?”
Eh!
“Wait wait, kamu pasang cctv ya di rumah saya? Iso ngerti loh”
“Haha... cctv-nya kan saya taruh di hati kamu”
“Ish, do you flirting me hey?”
“Hahaha”
“Ngguyu ae”
“Itu loo spesialmu, iso bikin saya ngguyu kalo pas gini ini”
Hmm... pas gini, oke!
“Pas gini kenapa?”
“...”
“...”
“Ran,”
“Ya,”
“Saya kangen kamu”
“...”
“Ran,”
“Hm,”
“Diem aja”
“Kamu lagi ada masalah apa Ka?”
“Mbaknya suka main langsung nih” canda Mika di seberang telepon
“Hehe, yah abisnya kamu gitu”
“Haha, tapi bener, saya lagi kangen sama kamu. Bentar bentar, emang kamu gak kangen sama saya?”
“Apaan sih Ka. Ck”
“Iya iya, gak godain lagi. Hehe”
Mika samar mendengar desah pelan Rani. Sesungguhnya, Mika tau artinya. Rani juga merindukannya, dan ia tahu mengapa Rani tak mau jujur mengatakannya.
“Saya lagi capek dengan hubungan saya sama Yana.”
“Capeknya gimana?”
“Saya juga bingung. Mungkin dia nggak sepenuhnya salah. Sayanya aja yang ngerasa jengah.”
“Emang dia ngapain sampai kamu ngerasa gitu?”
“Princesse Syndrome. Saya search di google, kira-kira seperti itu.”
“Sampai googling segala. Gimana tuh sindrome princesse?”
“Ya gitu Ran. Dia apa-apa, saya, kemana-mana, saya, mintanya ada saya mulu”
“Humm, gitu apa gak wajar kah Ka? Dia kan pacar kamu.”
“Wajar kalo saya ke dia juga gitu. Tau lah, saya yang capek Ran. Saya kan juga butuh apa-apa Yana, kemana-mana Yana. Jadinya kayak saya yang ada untuk dia, tapi dia gak ada untuk saya.”
“Kamu kan cowok, kudu lebih bisa apa-apa sendiri dong dibanding cewekmu.”
“Iya, tapi seenggaknya dia pernah napa dengerin saya. Itu gak terjadi sama dia”
“Masa dia gak pernah dengerin kamu?”
“Yes! Dan untuk nemenin saya nonton pameran IT aja dia nggak mau. Nyebelin dia!”
“Hush, gitu juga dia cewek kamu Ka”
“Hmmm” hela nafas panjang Mika keras terdengar.
“Kamu udah pernah negur dia?”
“Udah, dari cara yang alus sampe keras.”
“Lalu?”
“Lalu saya milih curhat ke kamu karena nasehat saya gak ngaruh, dia tetap, nggak berubah”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar