Di bangku taman
Setelah lama, mendengar sesenggukanku sendiri, aku menghapus basah di bawah mataku.
Sepertinya tak ada lagi yang bisa keluar.
"Gimana rasanya?" Tiba-tiba Diak duduk di sampingku, tempatmu tadi duduk menyampaikan badai itu.
Aku menghela napas panjang. Rupanya Diak mendengar apa yang terjadi barusan. "Nguping" jawabku singkat.
"Aku tadi kebetulan lewat" Diak beralasan.
"Gimana
rasanya?" Diak mengulang pertanyaannya. Dari semua 'saudara' di Langit
Pagi, jujur, memang Diak yang paling mengerti, pun tanpa perlu
penjelasan.
"There isn't right word to describe it"
Sepi bersambut. Diak tertunduk menekuri SLRnya. Entah apa yang sedang ia amati.
"Mbak pasti bisa", katanya kemudian. Menepuk pundakku.
"Iyah, bisa" balasku hambar. Tidak banyak keyakinan ketika aku mengucapkannya.
Diak tersenyum. Dia tahu keraguanku. "Eh, sebentar yah mbak, aku mau ambil sesuatu"
"Opo?"
"Sek, sek" Diak pergi. Sekitar lima menit dia kembali, menenteng gitar di tangan.
Aku menatapnya penuh tanya, 'buat apa?'
"Aku punya satu lagu buat hibur mbak"
"Apa emang?"
"Dengerin" Diak memosisikan gitarnya dan mulai memainkannya. Diawali pada kunci C, C, Ag, Em dan seterusnya
...
Takkan kubiarkan kau menangis
Takkan kubiarkan kau terkikis
Terluka perasaan, oleh semua u capanku
Maafkanlah semua sifat kasarku
Bukan maksudku untuk melukaimu
Aku hanyalah orang, yang penuh rasa cemburu
Bila kau tak disampingku
Takkan kubiarkan kau terkikis
Terluka perasaan, oleh semua u
Maafkanlah semua sifat kasarku
Bukan maksudku untuk melukaimu
Aku hanyalah orang, yang penuh
Bila kau tak disampingku
...
"Gak cocok yo lagune?" gurau Diak setelah lagu itu selesai ia nyanyikan.
"Gak papa. Lagu Sheila on 7 lama itu. Mbak suka. Suwun nggeh"
"He'em"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar