Deru motor memecah
dinginnya malam di jalanan Swaraya. Sepi yang menghuni jalanan itu membuat Anna
merasa sedikit takut. Raka sedang memegang kendali motor. Anna yang diboncengnya
sejujurnya merasa canggung. Tangannya berpegang pada besi jok motor. Ia
bingung, hendak memulai obrolan apa dengan Raka. Di tengah waktunya mencari
topik pembicaraan, motor Raka berjalan pelan. Raka menghentikan motornya di
tepi jalan, tepat di depan pertokoan yang sudah tutup.
Anna masih terduduk
di jok belakang motor, terheran. Raka membuka helmnya, dan menoleh.
“Berhenti sebentar
ya” katanya.
“Kenapa Ka?” Anna yang
masih bingung pun turun. Ia ikut melepas helm dan menaruhnya di motor. Entah
kenapa, jalanan Swaraya hari Minggu malam itu sepi. Hanya satu dua motor yang
lewat.
“Aku pengen ngomong
sesuatu.” Raka berdiri satu langkah di depan Anna. Anna hanya mengangguk.
‘Oke, ini tentang
sesuatu yang serius’, batin Anna memahami.
“Kenapa Ann?” Raka menggapai
kedua tangan Anna. Suaranya pelan mengalun.
“Kenapa apanya Ka?” Anna
menanggapi, bingung.
Raka mengitarkan
pandangannya, seolah mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan dan mendapat
kejelasan dari Anna, gadis yang berdiri di depannya, juga hatinya.
“Kenapa Ann? Kenapa
kamu terlalu rapat menutup hati?” masih dengan suaranya yang perlahan, Raka
menguraikan tanya yang sedikit membuat Anna terkejut. Mata teduhnya menatap
Anna.
“Maksud kamu apa
nanya itu Ka?” alih-alih menjawab, Anna melemar pertanyaan balik.
“Bohong kalau kamu
nggak tau apa maksudku.” Nada suaranya naik satu tingkat. “Ann, kamu sudah tau
tentang perasaanku ke kamu. Aku sayang kamu. Aku berusaha membangun kedekatan
denganmu. Tapi aku nggak liat usaha balik dari kamu.”
“Ka,” belum selesai
Anna menjawab, Raka melanjutkan penjelasannya.
“Aku pengen kita
kaya dulu Ann”. Iya. Dulu mereka pernah punya rasa yang sama. Cinta. Pahit
manis cerita mereka pernah lalui. Saling berbagi hati. Sayang, hanya sebentar
dan di waktu yang salah. Hanya berumur satu kali ulang tahun Anna, dan satu
kali ulang tahun Raka. Dan saat Raka bersanding dengan Farah.
“Dulu”, Anna bersiap
menjawab. Kali ini tak ada yang boleh memotong kalimatnya.
“Masih sakit rasanya
Ka, kalo ngomongin yang dulu-dulu.”
Raka tertegun.
“Kalo kamu ingat, kaya
apa kita dulu. Nyimpen rasa yang sama berdua. Entah sebagai temen-lah,
sahabat-lah, apapun itu. Seneng sih.” tak disuruh, air mata Anna mengalir. Ia
berhenti sejenak mengusap air di pipinya. Meski menunggu kalimat Anna selanjutnya,
Raka menggenggam pundak Anna tak kuasa melihatnya menangis.
“Tapi tiba-tiba kamu
pergi. Nggak ada kabar sama sekali. Setiap aku sapa, aku tanya, aku hubungin
kamu, nggak ada respon barang sedikit aja.”
“Ann,”
“Lupa. Kamu kayak
lupa sama aku. Dan kamu dengan sangat santainya pasang kemesraan sama Farah.”
Pandangannya menyapu langit. “Hhh,,, wajar ya. Dia yang hak buat kamu.”
“Ann,”
“Tapi perginya kamu
secara tiba-tiba itu yang bikin aku nggak siap. Entah, sakit aja rasanya hati
ini Ka. Meskipun aku tau, aku nggak akan bisa lama sama kamu. Lima tahun, nggak
ada kamu ngajak aku ngomong satu katapun, apalagi kata maaf.”
“Anna,” Segala rasa
berkecamuk dalam hati raka. Tak mampu lagi ia mendengar penjelasan Anna.
“Selama ini, aku udah
tutup pintu ke kamu Ka. Kamu jangan minta buka lagi, aku nggak bisa”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar