Selasa, 05 Mei 2015

Diam

Senin, 12.02 di ruangan.

Waktunya istirahat, seharusnya. Tapi semua sedang sibuk dengan sisa pekerjaannya di separuh hari. Begitu juga denganku, yang sedang menyiapkan presentasi akhir untuk Kamis besok. Yang aku tidak tahan, kamu betah mendiamkanku sampe tengah hari ini. Pfff...

"Istirahat sek yok" ajak Milana, "luwe mbak" sambil menoleh ke arahku.
"Agih duluan sama Diak, mbak belum pengen", suaraku membaik, tapi masih terdengar kasar.
"Ayok bareng ae, dari pagi belum maem samean" Diak membujuk.
"Nanti aja Yak, beneran belum pengen", aku benar-benar tidak ada selera makan.
"Tak telpon bunda Wanda ki loo" dengan mengancam, Diak mengangkat handphonenya.
"Silakan" jawabku lempeng. Gitu apa gak malah kalian yang dimarahin bunda, batinku.
"Haisss" Diak mendesis, "masih banyak kah yang belum dikerjain?" tanyanya menilik ke layar laptopku.
"Sedikit lagi kok", aku menggeserkan pointer ke dua slide penutup yang masih kosong, "Nanti mbak nyusul"
"Beneran loo ya mbak" Milana meyakinkan.
"He'em" aku mengangguk.
"Ya wes, duluan ya mbak"

Diak nyerah, lalu pergi bersama Milana keluar ruangan. Sebelum menutup pintu, dia mengajakmu pula untuk istirahat.
Yang kamu jawab singkat, 'duluan'. Jadi, di ruangan ini hanya ada kita berdua. Masih diam, cukup lama.

***
12.37, Diak dan Milana kembali.

"Nah hayoo, katanya mau nyusul" kata Diak tiba-tiba
"Ngagetin aja Yak"
"Ayoh maem mbak" bujuknya lagi.
"Hmm... ndak laper loo dek, piye", jawabku memelas.
"Mbak pengen maem apa deh? Beliin roti yah?" Milana menawarkan.
"Nasi bungkus aja kah?" Diak ikut menyarankan.
"Nggak usah"
"Aaa,,, ini aku punya wafer. Pasti mbak mau" seru Milana mengeluarkan dua bungkus wafer cokelat dari tasnya.
"Sini deh, mbak mau" aku menerima wafer dari Milana. Aku makan beberapa potong, sekedar bikin dua orang baik ini senang.
"Naaah, gitu dong", Diak tersenyum, "Oya mbak, Rabu pulang dari sini jalan yok, beli oleh-oleh" usul Diak.
"Wah, boleh-boleh" Milana mendahului, dengan wajah sumringahnya.
"Oke. Dimana tapi dek belinya? Naik apa jugaan?"
"Nah itu, aku juga gak tau" jawab Diak dengan muka datarnya, yang membuat aku dan Milana serasa ingin melemparnya dengan tisu.
"Dasar, Diak" umpat Milana.
"Eia Mik, di sini dimana ya kira-kira kita bisa beli oleh-oleh?" aku spontan bertanya padamu. Karena mau tidak mau, kamu yang lebih tau kota ini.
Dan apa jawabanmu? Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutmu.
Aku hanya mendapati kamu mengangkat bahu dan menggelengkan kepala. Kalau diartikan sih maksudnya 'nggak tau'.
Sedingin itu sikapmu, yang kamu tampakkan kepadaku, pun di antara orang lain, Milana dan Diak.

Awkward. Kami bertiga diam.

"Nanti tanya mbak Cita deh" akhirku kemudian kepada Diak dan Milana.
"Oke mbak" Diak dan Milana menjawab bersamaan.

Sepertinya beberapa jam lagi, suaraku akan serak lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar